Nasib, Juragan Bebek Beromzet Puluhan Juta
Krisis moneter tahun 1998 ternyata menjadi tonggak baru dalam
sejarah kehidupan Nasib Budiono, peternak itik/bebek asal Dusun Gedang,
Desa Modopuro, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
”Sebelum membuka usaha ternak sendiri, saya ikut Pak Suwardi. Selama
12 tahun saya bekerja di peternakan milik beliau dan banyak belajar
tentang bagaimana beternak bebek secara baik dan benar,” kata Nasib
Budiono.
Selama bekerja di peternakan milik tetangganya itu,
Nasib tidak semata-mata mengharapkan imbalan uang alias gaji. Dia
rupanya menimba ilmu beternak itik/bebek. ”Yang penting ilmunya, bukan
berapa saya dibayar,” katanya.
Gonjang-ganjing krisis moneter
tahun 1998 berdampak pada kehancuran ekonomi, termasuk gulung tikarnya
sejumlah usaha kecil peternakan bebek. ”Setelah tidak bekerja di
peternakan Pak Suwardi, saya mencoba usaha sendiri,” katanya.
Bermodalkan Rp 5 juta, Nasib membeli 3.000 itik. Saat memulai usaha
peternakan itik/bebek, Nasib memeliharanya dengan cara tradisional.
Bebek-bebeknya dibiarkan mencari makan
di sungai kecil dan sawah. Alasannya, tidak cukup modal untuk membeli
pakan ternak yang kala itu sangat mahal. ”Saya angon sendiri ke sungai
dan sawah,” katanya.
Seiring dengan berputarnya waktu, hasil
usahanya berkembang pesat. Saat ini setidaknya ada 9.000 bebek di
kandang miliknya dan 25.000-30.000 bebek di kandang milik mitra
kerjanya, yang tersebar di Desa Modopuro, Kecamatan Mojosari, Kabupaten
Mojokerto, Jawa Timur.
Ketekunan, keuletan, dan kehati-hatian
dalam menjalankan usaha ternaknya tak ayal mengantarkan Nasib menjadi
peternak itik/bebek yang berhasil. Kehidupan keluarganya pun kini jauh
lebih baik. ”Alhamdulillah, dari usaha ternak itik, saya bisa membeli
rumah, tanah, sepeda motor, dan mobil. Namun yang penting dalam hidup
ini, saya bisa bermanfaat untuk orang lain,” katanya.
Peternak binaan
Omzet
hasil ternaknya saat ini berkisar Rp 50 juta-Rp 60 juta per bulan.
Omzet sebesar itu belum termasuk hasil ternak dari 32 mitra usaha yang
dia modali di Desa Modopuro, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto,
dan di Kepanjen, Malang. Peternakan itik miliknya dengan lima karyawan
menyediakan bibit itik/bebek untuk para mitranya.
Selain di desa
tempat kelahirannya, kata Nasib menjelaskan, dia juga punya usaha ternak
binaan di Kepanjen, Malang, yang mulai dikembangkan tahun 2003.
”Sekarang ini ada 15 peternak binaan saya yang saya modali dengan bibit
itik untuk dibesarkan,” tutur Nasib seraya menekankan bahwa dia selalu
mengedepankan kejujuran dan kepercayaan bagi para mitranya.
Soal
penetasan telur, Nasib mengaku memiliki 35 oven penetasan yang
keseluruhannya mampu menghasilkan lebih kurang 10.000 anak itik. Harga
setiap itik (anak bebek) Rp 3.200 untuk pejantan dan Rp 5.000 untuk
betina. ”Setiap hari rata-rata 2.500 bibit itik saya kirim ke Samarinda
dan Tarakan, Kalimantan Timur. Sebagian lainnya ke Makassar, Malang,
dan Tulungagung. Kalau untuk bebek potong, lebih kurang 500 ekor per
hari,” katanya.
Usaha yang digeluti Nasib tidak hanya pembibitan
itik dari proses penetasan oven, tetapi juga bebek potong dan bebek
siap telur. ”Khusus untuk telur bebek, setiap hari saya bisa mengirim
9.000 butir untuk konsumsi, pembibitan, dan pabrik mi serta kerupuk,”
katanya.
Nasib, yang sejak berusia 2 tahun sudah yatim piatu
karena orangtuanya (Madilan-Rukemi) meninggal, adalah potret anak
keluarga miskin tetapi berhasil menggapai kehidupan layak dari beternak
itik/bebek. ”Mbakyu saya, Ngatining, yang membiayai sekolah saya
sampai SMP. Karena tidak ada biaya untuk melanjutkan (sekolah), ya saya
mau tidak mau harus mencari pekerjaan untuk hidup,” tuturnya.
Sebagai
peternak itik/bebek, Nasib hanya berharap pemerintah memerhatikan
harga pakan ternak yang kini cenderung naik dan mahal. ”Sekarang pakan
ternak kosentrat 144 harganya Rp 290.000 per sak, katul Rp 2.500 per
kilogram, dan kepala udang Rp 150.000 per blong,” keluhnya.
Sebagai
peternak itik/bebek yang terbilang sukses, Nasib tetap bersahaja dalam
melakoni hidup. Jika ada waktu senggang, dia tak segan dan malu angon
bebek ke sungai yang berada di belakang rumahnya. ”Sesekali saya masih
angon bebek, dan di sungai ini saya dahulu memulai beternak itik serta
memeliharanya sendiri,” katanya sembari menunjuk puluhan bebek yang
berlarian.
Kerinduan masa lalu saat angon itik dan melakoninya
kembali tatkala dirinya sudah menapaki kesuksesan sebagai peternak
tidak melarutkan Nasib dalam gemerlap kehidupan. ”Saya orangnya dari
dahulu ya seperti ini, masih suka angon bebek,” katanya.
Selama
13 tahun menjalankan usaha ternak itik/bebek, Nasib mengaku
lancar-lancar saja. Walaupun demikian, kasus flu burung yang mencuat
sekitar tahun 2004 berdampak pada penurunan omzet. ”Alhamdulillah,
sampai sekarang ini aman-aman saja dan tidak ada ternak saya yang
terserang flu burung. Namun, saat marak kasus flu burung, pengiriman
itik dan telur bebek ke beberapa daerah, termasuk Bali, sempat tertunda.
Hal ini berdampak pada penurunan omzet sampai 50 persen,” tuturnya.
Menyoalkan
dampak anomali cuaca terhadap pemeliharaan ternak itik/bebek, Nasib
mengatakan, hal itu tak banyak berpengaruh. Namun, dia mengakui,
produksi telur bebek menurun. ”Cuaca mendung, hujan, dan dingin bisa
membuat produksi telur bebek turun sampai 60-70 persen,” katanya.
Sebagai
orangtua yang hanya mengenyam pendidikan sampai bangku SMP, dia
termotivasi untuk lebih memerhatikan masa depan dan pendidikan
anak-anaknya. Dia ingin anak-anaknya menjadi orang yang sukses dengan
keilmuannya. ”Saya ingin anak saya sukses dan kuliah peternakan serta
mengerti nutrisi. Apakah nanti mau jadi peternak seperti bapaknya, saya
tak tahu. Kalaupun memilih jadi peternak, mereka bisa mengamalkan ilmu
nutrisi yang diperoleh dari kuliah,” kata Nasib. (http://bisniskeuangan.kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar